Apa kabarmu, Via?
Barangkali kamu bertanya untuk apa
aku menanyakan ini. Bukankah kamu bertemu denganku hampir setiap hari, begitu
pikirmu pasti. Tetapi, Via, kali ini aku tidak sedang berbasa-basi. Belakangan
aku merasa resah karena kamu berubah.
Kamu tentu berhak untuk itu — untuk
perubahan. Seperti kota ini yang setiap harinya juga tidak pernah sama. Aku pun
bukan seorang posesif yang akan menuntutmu untuk selalu sama.
Namun, Via, ketika perubahan itu
membuatmu tidak lagi menjadi dirimu, aku sungguh tidak rela.
Ingatkah kamu akan perjumpaan pertama
kita? Ah, pasti kamu sudah lupa.
Perlahan, aku mulai mengenalmu, dan
aku menikmati setiap pertemuanku denganmu. Bahkan, setiap kali hendak
menjelajah Jakarta, aku sering kali mampir ke rumahmu, meski sekadar lewat.
Aku menikmati matahari pagi yang
selalu mengelus kulitmu, juga terik siang yang teduh bersamamu. Aku menikmati
senja sore yang malu-malu menyinari hatimu, juga bulan malam yang bersembunyi
di sela-sela jarimu.
Kamu, bagiku, adalah jendela — celah
kecil tempat aku bisa menikmati secangkir kopi atau segelas es cendol, sambil
menghirup udara segar dan menatap kehidupan.
Perlahan juga, semakin banyak orang
yang menyukaimu, apalagi setelah kamu semakin cantik. Lihat saja macam-macam
orang yang ingin berfoto denganmu: dari remaja, pemuda, model, bule, orang tua,
bahkan pasangan segera nikah!
Kamu, bagi mereka, adalah taman —
tempat mereka bisa bersepeda, bermain bola, menikmati waktu, hingga memadu
cinta.
Aku tidak merasa perlu untuk cemburu
dengan mereka. Hatimu memang terlalu lapang untuk dinikmati olehku sendiri.
Kamu adalah milik bersama.
Namun, Via, kini hampir tidak ada
lagi hati lapang yang kumaksud. Kesediaanmu untuk menerima siapa pun justru
membuat hatimu kini terasa sesak.
Yang tersisa darimu adalah
kesemrawutan pasar malam yang memenuhi sekujur tubuhmu. Tak ada lagi ruang di
hatimu untuk aku dan yang lain bersantai menikmati waktu.
Mereka yang bersepeda dan bersepakbola sudah
jarang terlihat. Kamu, yang dulu bagi mereka adalah taman, kini dipenuhi
dagangan makanan, baju, cincin, sepatu, telepon genggam, dan lain-lain. Oh, apa
bedanya kamu kini dengan yang lain, yang menjual diri untuk transaksi jual-beli
semata?
Terakhir kali aku menumpang makan di
rumahmu, aku dihampiri lebih dari sepuluh pengamen bergantian yang memasang
muka sangar. Satu kali, ketika aku tidak memberikan apa pun, seorang pengamen
berteriak kasar: “Ngomong dari tadi, kek!”
Aku tidak lagi dapat merasakan
keramahanmu, Via. Aku yakin, banyak orang lain yang juga merasa kehilangan.
Tidak kah kamu menyadari, ada yang hilang dari dirimu?
Dengan segala rasa sayang bercampur cemas, aku
berharap kamu baik-baik saja, Oude Batavia*.
*Oude Batavia adalah sebutan untuk daerah kota tua Jakarta
By: Robin Hartanto
0 komentar:
Posting Komentar